Sumedang

Sumedang
Kabupaten Sumedang

Selasa, 10 November 2015

Permasalahan Isu Audit Terkini Mengenai
Kasus Hambalang

Tindak kecurangan di pemerintahan Indonesia sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Berbagai usaha telah dilakukan Pemerintah Indonesia baik dengan memberdayakan secara maksimal lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan, Pengadilan, dan Kepolisian. Bahkan dalam dasawarsa terakhir Pemerintah juga telah membentuk dan memberdayakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Terjadinya kecurangan tersebut yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan. Kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah sulit terdeteksi karena pelaku biasanya merupakan orang-orang yang dipercaya untuk menjalankan suatu proyek. Untuk lebih lanjut, audit laporan keuangan ini hanya dapat mendeteksi saja sedangkan untuk pengungkapannya diserahkan pada auditor forensik yang lebih berwenang.
Peran audit forensik dalam mengungkap kecurangan di Indonesia dari waktu ke waktu semakin terus meningkat. Bahka audit forensik banyak diterapkan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumpulkan bukti-bukti hukum yang diperlukan untuk menangani kasus-kasus korupsi yang dilaporkan kepada instansi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Inspektorat Jenderal Kementrian untuk menggali informasi  selama proses pelaksanaan audit kecurangan (fraud audit).
Audit forensik didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi dilapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi. Audit ini bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan, ada juga peran audit forensik dalam bidang hukum di luar pengadilan, misalnya dalam membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan / pelanggaran kontrak. Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis kecurangan (fraud). Penggunaan auditor untuk melaksanakan  audit forensik telah tumbuh pesat. Beberapa contoh di mana audit forensik bisa dilaksanakan termasuk Kecurangan dalam bisnis atau karyawan, Investigasi kriminal, Perselisihan pemegang saham dan persekutuan, Kerugian  ekonomi dari suatu bisni dan  Perselisihan pernikahan. Dalam kasus semacam ini, auditor dituntut harus benar-benar independen, meskipun penugasan audit diberikan oleh salah satu pihak yang bersengketa, independensi auditor harus  tetap dijaga. Perbedaan utama audit forensik dengan audit maupun audit konvensional lebih terletak pada mindset (Kerangka pikir). Metodologi kedua jenis audit tersebut tidak jauh berbeda. Audit forensik lebih menekankan pada keanehan (exceptions, oddities, irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada kesalahan dan keteledoran seperti pada audit umum.
Dalam hal ini sebagai contoh Kasus Hambalang atau Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversional. Dalam audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp. 1,2 Triliun berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional hampir membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center). Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi pembangunan pusat olahraga tersebut. Bahkan tim verifikasi telah mensurvei lima lokasi yang dinilai layak untuk membangun pusat olahraga, yakni Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan Cikarang, tapi tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citeureup, Bogor. Tim melihat lahan di Hambalang itu sudah memenuhi semua kriteria penilaian, sehingga lokasi tersebut dipilih untuk dibangun.
Menindaklanjuti pemilihan lahan di Hambalang, Dirjen Olahraga Depdiknas langsung mengajukan permohonan penetapan lokasi Diklat Olahraga Pelajar Nasional kepada Bupati Bogor. Bupati Bogor menyetujui dengan mengeluarkan Keputusan Bupati Bogor No. 591/244/Kpes/Huk/2004 tanggal 19 Juli 2004.  Sambil menunggu izin penetapan lokasi dari Bupati Bogor tesebut, pada 14 Mei 2004, Dirjen Olahraga telah menunjuk pihak ketiga yaitu PT LKJ untuk melaksanakan pematangan lahan dan pembuatan sertifikat tanah dengan kontrak No.364/KTR/P3oP/2004 dengan jangka waktu pelaksanaan sampai dengan 9 November 2004 senilai Rp4.359.521.320. Namun, ternyata lokasi Hambalang itu masuk zona kerentanan gerakan tanah menengah tinggi sesuai dengan peta rawan bencana yang diterbitkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM. Sesuai dengan sifat batuannya, PVMBG menyarankan untuk tidak mendirikan bangunan di lokasi tersebut karena memiliki risiko bawaan yang tinggi bagi terjadinya bencana alam berupa gerakan tanah. Selain itu, status tanah di lokasi masih belum jelas, meskipun telah dikuasai sejak pelepasan/pengoperan hak garapan dari para penggarap kepada Ditjen Olahraga setelah realisasi pembayaran uang kerohiman kepada para penggarap sesuai Berita Acara Serah Terima Pelepasan/Pengoperan Hak Garapan tertanggal 19 September 2004.  Sejak itulah area tanah tersebut diakui sebagai aset Ditjen Olahraga dan kemudian pada tanggal 18 Oktober 2005 diserah terimakan kepada organisasi baru yaitu Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) setelah Ditjen Olahraga berubah menjadi Kemenpora. Menpora saat itu, Adhyaksa Dault mengakui bahwa untuk membangun pusat olahraga pihaknya mengajukan anggaran sebesar Rp125 miliar. Karena proyek tersebut awalnya bukan untuk pembangunan pusat olahraga. Melainkan hanya pembangunan sekolah olahraga. "Rekomendasi awalnya, di sana hanya untuk bangun sekolah olahraga dua lantai dan saya tidak tahu bagaimana ceritanya berubah menjadi sport center," kata Adhyaksa saat berbincang dengan VIVAnews.
Nilai proyek ini kemudian bertambah hingga Rp2,5 triliun saat Kemenpora dipimpin oleh Menteri Andi Mallarangeng. Hal tersebut terungkap dalam audit Hambalang, bahwa pada tanggal 8 Februari 2010 dalam Raker antara Kemenpora dengan Komisi X, Menpora menyampaikan rencana Lanjutan Pembangunan tahap I P3SON di Bukit Hambalang Rp625.000.000.000. Permintaan itu diajukan karena dalam DIPA Kemenpora TA 2010 baru tersedia Rp125 miliar. Menpora Andi Mallarangeng juga menyampaikan bahwa usulan tersebut merupakan bagian rencana pembangunan P3SON Bukit Hambalang Sentul yang secara keseluruhan memerlukan dana sebesar Rp2,5 triliun. 
Andi Mallarangeng pun menghormati hasil audit BPK atas proyek Hambalang tersebut. Bahkan dirinya mendukung perlu adanya pihak yang bertanggung jawab jika memang ditemukan adanya penyimpangan. "Sebagai menteri tentu saya menjalankan tugas sebaik-baiknya termasuk dalam hal pengawasan," kata Andi. Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menyebut total kerugian negara akibat Proyek Hambalang sebesar Rp463,67 miliar. Hal itu disampaikan dalam paparan laporan hasil audit Hambalang Jilid II di ruang pimpinan DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (23/8). "BPK menyimpulkan ada indikasi kerugian negara sebesar Rp463,67 miliar akibat adanya indikasi penyimpaangan dan penyalahgunaan wewenang wewenang yang mengandung unsur-unsur pidana yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan P3SON Hambalang," paparnya.
Pelanggaraan tersebut terletak pada beberapa tahapan. Pertama, proses pengurusan hak atas tanah. Kedua, proses pengurusan izin pembangunan. "Ketiga, proses pelelangan. Keempat, proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak," tambahnya. Kelima, pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan keenam, pembayaran dan aliran dana yang diikuti rekayasa akuntansi. Terkait proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak, BPK juga menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 56/PMK.02/2010 yang diganti dengan PMK Nomor: 194/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diduga mengalami penurunan makna substantif dalam proses persetujuan Kontrak Tahun Jamak.
Selain itu juga terdapat hasil audit forensik kasus hambalang, Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)  Hadi Purnomo memaparkan sejumlah hasil audit terhadap kasus Hambalang ke DPR.  Menurutnya laporan audit investigasi kasus Hambalang dilakukan dua tahap. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kasus Hambalang tahap I dilakukan pada 30 Oktober 2012. Hasilnya telah disampaikan ke DPR. Dalam LHP tahap I, BPK menyimpulkan ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan atau penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan tahun jamak, proses pelelangan, proses pelaksanaan konstruksi, dan dalam proses pencarian uang muka yang dilakukan pihak terkait dalam pembangunan Hambalang yang mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 263,66 miliar. Artinya, LHP tahap I dan II merupakan satu satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya secara komprehensif menyajikan berbagai dugaan penyimbangan dan/atau penyalahgunaan wewenang dalam pembangunan Hambalang.
Dalam LHP tahap II, terang Hadi, BPK menyimpulkan terdapat indikasi penyimpangan dan/atau penyalahgunaan wewenang yang mengandung penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan proyek hambalang. Penyimpangan wewenang itu terjadi pada proses pengurusan hak atas tanah, proses izin pembangunan, proses pelelangan, proses persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, pembayaran, dan aliran dana yang di ikuti dengan rekayasa akuntasi dalam proyek Pusat Pendidiakn Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3 SON), Hambalang. Dalam LHP tahap II ini BPK kembali menemukan adanya penyimpangan dalam proses pengajuan dan kerugian negara mencapai Rp471 miliar.
Berikut kesimpulan LHP tahap II BPK soal Hambalang;
1)      Bahwa permohonan persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri Keuangan atas proyek pembangunan P3 SON Hambalang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku, sehingga selayaknya permohonan tersebut tidak dapat disetujui Menteri Keuangan.
2)      Bahwa pihak-pihak terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan rekayasa pelelangan untuk memenangkan rekanan tertentu dalam proses pemilihan rekanan pelaksana proyek pembangunan P3 SON Hambalang.
3)      Bahwa pihak Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi amdal maupun menyusun DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) terhadap proyek pembangunan P3 SON Hambalang sebagaimana yang diamanatkan UU Lingkungan Hidup. Persyaratan adanya studi amdal terlebih dahulu sebelum mengajukan izin lokasi, site plan, dan IMB kepada Pemkab Bogor tidak pernah dipenuhi oleh Kemenpora.
Terkait dengan persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, BPK juga menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No 56/2010 yang diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 
Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 patut diduga bertentangan dengan Pasal 14 UU No 1/2004. Peraturan tersebut diduga untuk melegalisasi dugaan penyimpangan yang telah terjadi. Pencabutan Permenkeu No 56/2010,mengindikasikan adanya pembenaran atas ketidakbenaran atau penyimpangan atas Pasal 14 UU No 1/2004. Berbagai indikasi penyimpangan yang dimuat dalam LHP tahap I dan II mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 463,67 miliar. Yaitu senilai total dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk pembayaran proyek pada 2010 dan 2011 sebesar Rp  471, 71 miliar. Dikurangi dengan nilai uang yang masih berada pada KSO AW sebesar Rp 8,03 miliar.

Referensi :
Akuntono, Indra. (2013, 13 September).BAKN.Ajukan Tiga Rekomendasi Terkait Kasus Hambalanghttp://nasional.kompas.com/read/BAKN-Ajukan-Tiga-Rekomendasi-Terkait Kasus-Hambalang. Diakses pada 27 November 2013, 01:05..
Fajar, Ajat M. (2013, 23 Agustus ). Inilah Hasil Audit Tahap II BPK Soal Hambalanghttp://nasional.inilah.com. Diakses pada 27 November 2013, 01:10.
Farahdina, Gita. (2013, 23 Agustus). BPK: Kasus Hambalang Rugikan Negara Rp463,67 Miliar. http://Metrotvnews.com. Diakses pada 27 November 2013, 00:30.
Hopwood, William, George Young, Jay Leiner. Forensic Accounting. http://Amazon.com: (9780073526850):Books.
Keris, Panji. (2012, 24 April). Gambaran Umum Audit Forensik. http://panjikeris.wordpress.com/2012/04/24/audit-forensik/. Diakses pada 27 November 2013, 02:47.
Novita, Dyah Ratna Meta. (2013, 23 Agustus). Berikut Hasil Audit BPK Soal Hambalanghttp://Republika.co.id.  Diakses pada 27 November 2013, 01:05.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar